Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali Cilacap / UNUGHA Cilacap)
Dalam dunia yang kian sadar lingkungan, kebutuhan akan material fungsional berbasis hayati bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan. Salah satu bahan alami yang tengah naik daun adalah kitosan, polimer berbasis kitin yang diperoleh dari limbah cangkang udang dan kepiting. Namun, yang menarik bukan hanya kitosannya—melainkan bagaimana kita bisa mengubahnya menjadi bahan masa depan lewat modifikasi kimia.
Salah satu bentuk paling menjanjikan adalah N-HTCS, atau N-[(2-hydroxy-3-trimethylammonium) propyl] chitosan salts. Sebuah turunan kitosan yang bukan hanya larut dalam air, tapi juga memiliki sifat antioksidan, antikanker, antimikroba, biokompatibel, dan bahkan piezoelektrik. Sifat-sifat ini membuka peluang luar biasa bagi pengembangan bahan aktif di bidang pangan, farmasi, tekstil, hingga lingkungan.
Dari Limbah Laut ke Teknologi Canggih
Kitosan telah lama dikenal dalam industri sebagai bahan aktif alami dengan sifat antibakteri. Namun penggunaannya masih terbatas karena kelemahan mendasarnya: sulit larut dalam air pada pH netral, memiliki luas permukaan rendah, dan performa termal-mekanik yang lemah. Di sinilah peran modifikasi kimia menjadi penting.
Dengan proses kuaternisasi dan kopolimerisasi, ilmuwan berhasil merancang turunan kitosan seperti N-HTCS yang bisa larut dalam air biasa, lebih stabil, dan memiliki daya penetrasi tinggi terhadap sel atau jaringan. Dalam konteks pangan, ini berarti kita bisa mengembangkan kemasan pintar berbasis kitosan aktif, pelapis antibakteri untuk buah-buahan, hingga bahan pengemulsi alami yang aman dan ramah lingkungan.
Lebih jauh, sifat piezoelektrik dan superparamagnetiknya membuka jalan bagi teknologi sensor pangan dan sistem deteksi kontaminan yang lebih presisi. Kita tidak lagi bicara soal pengganti plastik semata, tetapi material canggih dari sumber hayati lokal yang mampu menyaingi performa polimer sintetis.
Peluang dan Tantangan di Indonesia
Sebagai negara kepulauan yang kaya hasil laut, Indonesia menyimpan potensi besar untuk menjadi pusat produksi dan pengembangan kitosan dunia. Limbah perikanan kita, yang selama ini kurang dimanfaatkan, sebenarnya bisa menjadi bahan baku utama untuk menghasilkan kitosan dan turunannya seperti N-HTCS.
Namun, realisasinya tidak mudah. Tantangan utama datang dari rendahnya kapasitas hilirisasi bioteknologi di sektor pangan dan bahan fungsional, serta masih terbatasnya insentif riset untuk bahan kimia hijau di industri. Di sisi lain, sektor UMKM pangan juga belum banyak tersentuh oleh teknologi kemasan aktif berbasis biopolimer.
Di sinilah peran perguruan tinggi, pemerintah, dan sektor industri harus bertemu. Diperlukan ekosistem inovasi yang memungkinkan hasil riset bahan terbarukan seperti N-HTCS ini menjelma menjadi produk nyata—baik dalam bentuk kemasan pangan aktif, sensor keamanan makanan, maupun bahan fungsional dalam produk nutraceutical.
Peluangnya besar. Bayangkan jika sektor industri pengolahan hasil laut kita bukan hanya mengekspor udang beku, tapi juga menghasilkan kitosan farmasi dan turunan canggihnya yang digunakan di seluruh dunia. Indonesia tak hanya menjadi pasar, tapi juga pemain utama dalam bioteknologi hijau dunia.
Menuju Masa Depan Bahan Aktif Berkelanjutan
N-HTCS bukan sekadar turunan dari kitosan. Ia adalah simbol dari bagaimana limbah bisa ditransformasi menjadi inovasi. Ketika teknologi, keberlanjutan, dan potensi lokal disatukan, kita tak hanya mengatasi masalah limbah, tapi juga menciptakan solusi berbasis sains untuk tantangan global dalam pangan dan kesehatan. Saatnya Indonesia tak hanya menjadi produsen bahan mentah, tapi juga menjadi pusat inovasi material masa depan. Dan semua itu, bisa dimulai dari cangkang udang di dapur rumah tangga pesisir.